Terbangun di ruangan besar itu masih dalam posisi berbaring, aku mulai bergerak dibawa ke arah pintu, melewati lorong yang di ujungnya kulihat suami dan orangtuaku sudah menunggu. Berbinar-binar suamiku menyapa, memperlihatkan foto buah hati kami yang sudah ia adzani saat aku masih dirawat di ruang operasi. Tak bisa lama bertemu, aku langsung dibawa ke ruang pemulihan sambil menunggu siapnya kamar rawatku yang katanya masih waiting list. Lamaa sendirian di sana, tanpa membawa apapun, membuatku hanya bisa mengisi pikiranku sebisa mungkin agar tidak kosong.
Sesaat sebelum aku dibawa ke ruang operasi, suster memberiku dan suami quality time untuk berdoa. Di waktu tersebut tersisip juga reminder dari suamiku soal “acceptance”. Kami percaya inilah jalan yang terbaik untuk kami, tidak ada yang salah dalam semua proses ini, tidak ada yang boleh menyalahkan karena proses lahiran ini jadinya harus c-section, terutama aku terhadap diriku sendiri.
Karena ya sebetulnya tidak apa-apa banget kan lahiran c-section juga. Selama itu untuk kebaikan bayi dan ibu. Aku sempat dengar cerita teman yang punya teman sangat idealis ingin lahiran normal (mungkin karena soal biaya juga) dan ketika sudah disarankan c-section oleh dokter demi keselamatan ibu dan bayinya, masih saja menolak c-section hingga akhirnya sang ibu dan bayi passed away. Naudzubillah.
Menyiapkan fisik dan mental untuk lahiran itu penting, tapi yang tidak kalah penting juga adalah menyiapkan wawasan. Ada penyesalan yang terlintas jika ingat bahwa aku hanya prepare untuk proses lahiran normal. Aku samasekali tidak cari tau soal induksi ataupun c-section. Bahkan mirisnya jika ada yang sharing mengenai c-section aku inginnya skip saja, rasanya tidak ingin baca agar tidak tersugesti bahwa ada kemungkinan untuk lahiran secara c-section.
Selama menunggu di ruang pemulihan, ada pikiran terlintas andai aku banyak juga membaca soal c-section, pasti aku akan bisa lebih rileks dan mungkin bisa kebayang pasca operasi apa saja hal yang perlu diperhatikan. Mirisnya juga, aku baru tau “don’ts” nya pasca operasi c-section sekitar seminggu setelah operasi, itupun ya dari sahabatku yang kebetulan lihat tips tersebut di instagram 😂 Dan saat itu beberapa poin yang perlu dihindari sudah keburu aku sering lakukan 😅

Padahal dari dulu aku sangat setuju bahwa tidak peduli bagaimanapun prosesnya, mau lahiran secara normal ataupun operasi, ya tetap saja ia menjadi ibu. Aku selalu berusaha tidak mau menjudge, dan jika tidak diceritakan oleh sang ibu sendiri, aku sebisa mungkin tidak bertanya soal “normal atau c-section“.
Tapi ketika mengalami sendiri kehamilan, ternyata tetap saja ada rasa idealis sebagai perempuan ingin bisa lahiran secara normal alami.
Apalagi ditunjang dengan 37 minggu melewati masa kontrol kehamilan yang Alhamdulillahnya selalu baik hasilnya, bahkan di minggu ke-36 sudah diperiksa dalam karena kepala baby sudah di bawah, membuatku dan suami sangat optimis akan bisa lahiran normal alami.
Qadarullah, di minggu ke-38 saat kontrol air ketubanku berkurang dan hasil rekam jantung janin saat itu bagus sehingga disarankan untuk induksi.
Blank. Tidak tau bagaimana itu prosesnya, bagaimana rasanya, apa saja pros dan consnya.
Drop. Ternyata aku agak sedih karena kemungkinan besar tidak bisa melahirkan secara normal alami.
Bingung. Apakah akan mengikuti saran dokter untuk induksi atau bagaimana?
Full support dari suami dan orangtua serta mertua membulatkan aku dan suami untuk mengikuti saran dokter menjalani induksi keesokan harinya. Namun saat rekam jantung janin sebelum proses induksi, Qadarullah jantung janin melemah setiap aku kontraksi. Bahkan sempat melemah hingga hampir batas minimal katanya. Dengan kondisi seperti itu tidak mungkin untuk dilakukan induksi. Kontraksi alami yang aku rasa mulesnya tidak seberapa saja sudah bikin jantung janinku melemah, bagaimana jika harus menerima induksi yang notabene merangsang kontraksi yang pastinya akan lebih hebat. Saat itulah kami paham bahwa c-section adalah cara teraman untuk melahirkan buah hati kami.
Oksigen dan infus langsung dipasang sambil berjalannya rekam jantung ulang. Apabila jantung janin drop lagi setelah aku pakai oksigen dan infus, maka operasi cito (darurat) harus segera dilaksanakan dalam waktu maksimal 30 menit dari dropnya jantung janin. Btw aku dengar kata cito otomatis ingat Ketua dan Radith dari Webtoon We Are Pharmacist deh 🤣 (buat yang paham aja).
Alhamdulillah hasil rekam jantungnya bagus, sehingga operasi akan dilaksankan dalam waktu 1 jam setelah rekam jantung selesai. Aku masuk ruang operasi sekitar jam setengah satu siang dan kurang lebih 30 menit kemudian anak pertama kami Alhamdulillah lahir dengan selamat 🧡
Ternyata bagaimanapun proses persalinannya samasekali tidak mengurangi bahagia dan nikmatnya menjadi ibu. Bahkan malamnya saat bius sudah mulai habis, rasa sakit di bekas operasi samasekali tidak terasa ketika ada bayi mungil dipelukan dan menyusu padaku :’) MasyaAllah Tabarakallah..
Walaupun sudah dipersiapkan, kami tetap tak menduga bahwa proses kelahiran anak kami akan berjalan secepat ini. Tadinya pulang kontrol itu kami masih akan bukber ke dua lokasi, dan kami juga masih ada rencana maternity photoshoot satu kali lagi. Qadarullah buah hati kami sudah ingin ikutan takbiran dan silaturahim lebaran tahun ini sepertinya 😆 Dan tadinya kami pikir akan menghabiskan sampai 12 jam proses induksi di RS sebelum bertemu anak kami. Ternyata buah hati kami sudah sangat tidak sabar untuk bertemu kami dan hanya dalam waktu 3 jam Alhamdulillah Ia sudah lahir ke dunia 🙂
Akhirnya kami menyandang status dan tanggung jawab baru, sebagai orang tua 🙂
Ps: Euforia lahiran yang aku alami di awal Juni 2019 kemarin membuatku semangat untuk sharing soal pengalamanku yang benar-benar berharga tersebut. Pengalamanku melahirkan secara C-Section. Tulisan ini juga dibuat untuk #amiaricollab kolaborasi dengan sahabatku yang Alhamdulillahnya lahiran secara normal, alami nan lungsur langsar bangeett 🧡
Enjoy your motherhood, sist! Selamat mengASIhi ❤
LikeLike